Bagaimana Membumikan Islam di Indonesia
Membumikan Islam |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam hadir di
Nusantara ini sebagai agama baru dan pendatang. Dikarenakan kehadirannya lebih
belakang dibandingkan dengan agama Hindu, Budha, Animisme dan Dinamisme.
Dinamakan agama pendatang karena agama ini hadir dari luar negeri. Terlepas
dari subtansi ajaran Islam, Islam bukan merupakan agama asli bagi bangsa
Indonesia, melainkan agama yang baru datang dari Arab.
Islam yang telah menyebar
ke seluruh penjuru dunia, mau tidak mau, harus beradaptasi dengan nilai-nilai
budaya lokal (kearifan lokal). Sebagai substansi, Islam merupakan nilai-nilai
universal yang dapat berinteraksi dengan nilai-nilai lokal (local wisdom) untuk
menghasilkan suatu norma dan budaya tertentu.
Islam sebagai ramatan
lil amin terletak pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip kemanusiaan universal
yang dibangun atas dasar kosmologi tauhid. Nilai-nilai tersebut selanjutnya
dimanifestasikan dalam sejarah umat manusia melalui lokalitas ekspresi
penganutnya masing-masing.
Tantangan terbesar dalam
mengoptimalkan peran umat Islam Indonesia dalam pembangunan negara adalah
adanya anggapan yang mempertentangkan antara agama, negara, dan modernisasi.
Agama Islam hanya digaungkan untuk kepentingan ukhrawi semata, tetapi acap kali
mengabaikan kepentingan duniawi. Imbasnya, bangsa Indonesia pun terpuruk dalam
persaingan global.
Agenda
utama yang harus dilakukan dalam mewujudkan kejayaan umat Islam Indonesia
adalah mengubah paradigma anak bangsa dalam memandang hubungan Islam,
nasionalisme, dan modernitas. Agenda pencerahan tersebut meliputi: Pertama,
memahamkan bahwa perdebatan soal dasar bernegara berupa Pancasila dan UUD Tahun
1945, telah usai. Melalui jalan musyawarah, para pendahulu bangsa telah
mendudukkan Indonesia sebagai negara berketuhanan, tanpa ada sebuah agama
negara; Kedua, memahamkan bahwa cinta tanah air sejalan dengan nilai-nilai
Islam; Ketiga, memahamkan bahwa Islam merupakan agama yang modern, dalam artian
nilai-nilainya dapat menjadi pedoman hidup sepanjang waktu, seiring dengan
perkembangan zaman; Ketiga, memahamkan bahwa dengan spirit Islam dan
nasionalisme, muslim di Indoneisa, harus proaktif dalam membangun bangsa dan
negara.
Akhirnya,
spirit agama, nasionalisme, dan modernitas, adalah tiga eleman yang tak
terpisahkan. Keyakinan agama adalah ikatan spiritual, nasionalisme adalah
ikatan kenegaraan-kebangsaan, sedangkan modernitas adalah ikatan zaman.
Ketiganya niscaya menjadi bagian dari pribadi umat Islam Indonesia. Oleh karena
itu, bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, sudah sepatutnya memadupadankan
ketiganya dalam upaya membangun bangsa dan negara.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana transformasi wahyu dan implikasinya terhadap corak
keberagaman ?
2. Bagaimana alasan perbedaan
ekspresi dan praktik keberagaman ?
3. Apa sumber histroris, sosiologis,
teologis, dan filosofis tentang pribumisasi islam ?
4. Bagaimana membangun argumen tentang urgensi
pribumisasi islam ?
5. Bagaimana mendeskripsikan dan
mengkomunikasikan pribumisasi islam sebagai upaya membumikan islam di
Indonesia ?
C.
Tujuan
Masalah
1.
Mampu
memahami bagaimana transformasi wahyu dan implikasinya terhadap
corak keberagaman
2.
Mampu
memahami alasan perbedaan ekspresi dan praktik keberagaman
3.
Mengetahui
sumber histroris, sosiologis, teologis, dan filosofis tentang pribumisasi islam
4.
Mengetahui
bagaimana cara membangun argumen tentang urgensi pribumisasi islam
5.
Mampu
mendeskripsikan dan mengkomunikasikan pribumisasi islam sebagai upaya
membumikan islam di Indonesia
Dalam ajaran islam, wahyu Allah selain berbentuk tanda – tanda ( ayat)
yang nirbahasa, juga bermanifestasi dalalam bentuk tanda- tanda (ayat ) yang difirmankan. Untuk memudahkan
pemahaman, kita bedakan antara istilah wahyu ( dengan “w” kecil) dan Wahyu
(dengan “W” besar). Wahyu dengan w kecil menyaran pada tanda- tanda intruksi
arahan, nasihat, pelajaran, dan ketuhan Tuhan yang nirbahasa, dan mewujud dalam
alam semesta dan isinya, termasuk dinamika social budaya yang terjadi di
dalamnya.
Adapun Wahyu dengan W besar menyaran pada tanda-tanda, instruksi,
arahan, nasihat, pelajaran, dan ketentuan Tuhan yang difirmankan melalui utusan-Nya
(malaikat) dan diakses secara khusus oleh orang-orang pilihan yang disebut
sebagai nabi atau rasul (meskipun kedua istilah ini sebenarya berbeda, namun
sementara ini dianggap sama). Tanda-tanda Tuhan di alam semesta ini ada yang
dipahami secara sama, pada sembarang waktu dan tempat. Sebalikny , tanda- tanda
Tuhan ada pula yang dibaca dan dipahami secara berbeda karena perbedaan kadar
kemampuan jiwa , rasa, dan fisik. Menurut Sahrur dalam AI-Quran wa al-Kitab". tanda tanda Tuhan
yang di angkap secara universal itulah yang di sebuit dengan ayat-ayat
muhkamat. Adapun tanda tanda yang dibaca secara berbeda-beda sesuai dengan
perkembangan kemampuan nalar manusia, disebut dengan ayat ayat mutasyabihat.
Ayat-ayat yang terdapat di alam semesta dengan berbagai dinamika di
dalamnya dibaca dan dimaknai secara komprehensif oleh beberapa orang pilihan
yang disebut dengan nabi rasul. Para
nabi dan rasul merupakan orang-orang pilihan karena mereka telah dikaruniai
bakat kecerdasan paripurna sehingga dapat men-“download” ayat-ayat Tuhan yang
di-upload di alam ini dan mem-breackdown-nya menjadi sebuah pelajaran, nasihat,
ketentuan, instruksi, dan informasi dari Tuhan yang berbentuk bahasa. Ketika
masih dalam bentuknya yang asli berupa alam yang terbentang, wahyu belum
diidentifikasi sebagai shuhuf al-Ula (kitab Ibrahim), Taurat (kitab Musa),
Zabur (kitab Dawud), Injil (kitab lsa), atau Al-Quran(Nabi Muhammad SAW). Wahyu
dengan w kecil sebagai ayat yang terbentang baru diidentifikasi sebagai sebutan
manakala telah diperspesi oleh para nabi dan rasul Ketika ia dipersepsi oleh
nabi berkebangsaan Yahudi, maka munculah Taurat yang berbahasa lbrani. Ketika
ia dipersepsi oleh nabi yang berkebangsaan Arab maka munculah Al-Quran yang
berbahasa Arab.
Wahyu (dengan W besar) difirmankan untuk menjawab beberapa permasalahan
yang tidak dilemukan jawabannya dalam tanda-tanda Tuhan yang terbentang, untuk
memotivasi manusia agar makin detil dalam membaca dan memahami alam yang
terbentang, sehingga ia bisa memperoleh
rnakna dari setiap fenomena yang dialarrunya.
Tidak hanya itu, Wahyu difirmankan juga untuk memperpendek proses
pembacaan terhadap alam (wahyu yang terbentang). Apabila manusia diberi
kesempatan untuk membaca dan memahami aJam dengan segenap potensi nalar, rasa,
dan jiwa yang dimilikinya, ia akan membutuhkan waktv yang lama untuk mencapai
jawaban final. Namun berkat Wahyu, proses yang panjang dan berliku tersebut
dapat disingkat sedemikian rupa sehingga manusia tidak perlu bersusah payah
untuk mendapatkan jawaban final kehidupan.
Agaknya faktor sosial-budaya dan bakat intelektual yang dimiliki oleh
masing-masing nabi membuat Wahyu pun terfirman dengan teknik dan content yang
berbeda Wahyu Allah yang terbentang dalam alam geografis dan sosial budaya
Arab, akan ditangkap oleh nabi berkebangsaan Arab dan dibesarkan dalam tradisi
intelektual Arab. otomatis akan menjadi
Wahyu yang berbahasa Arab lengkap dengan kultur Arab pada masa wahyu
difirmankaff Artinya, ke-Araban Al- Quran misalnya, sangat dipengaruhi
oleh kultur Arab Nabi Muhammad. Al-Quran menjadi sebuah bacaan
berbahasa Arab dan menyapa umat manusia dengan log'ka bangsa Arab abad ke-7
karena ia diturunkan kepada Nabi Muhammad yang berkebangsaan Arab.
Wahyu Allah (dengan w kecil) pada mulanya bersifat universal dan
historis. Sebagai tanda-tanda Tuhan yang terbentang, keberadaan wahyu melintasi
zaman dan melintasi ruang. Namun ketika wahyu tersebut di-downtoad menjadi
wahyu terfirman, maka ia berubah menjadi wahyu yang historis (menyejarah). Hal
itu dikarenakan substansinya yang universal. kini harus diwadahi dalam lokahtas
ekspres, Begitu wahyu Allah (dengan w kecil) berubah menjadi wahyu terfirman
selanjulnya disebut Firman saja). maka ia terikat dalam ruang ekspresi yang
dibatasi oleh letak geografis dan ruang waktu.. lni merupakan babak awal
terjadinya perbedaan corak pemahaman agama.
Dalam nalar Islam, wahyu yang terbentang diakses dan di- downIoad oleh
Nabi Muhammad dengan bakat intelektual yang luar biasa dan karunia Allah
melalui Malaikat Jibril. Wahyu terfirman itu lalu disebut Al-Quran.
Apabila mengacu pada
pemikiran yang dikemukakan
Sahrur, tanda-tanda Allah di alam terbentang disebut dengan Al-Quran
al-"Aztnm sedangkan tanda-tanda yang terclapat dalam wahyu terfirman
disebut dengan Al-Quran al-Karim. Selanjutnya dalam pembahasan di buku ini, ada
baiknya kita tetap mengunakan istilah wahyu terbentang (At-Quran al-Azhim) dan
wahyu terfirman (AI- Quran al-Karim).
Wahyu terfirman rnerupakan
bentuk relasi antara
nalar manusia, wahyu terbentang, dan karunia rahrnat Tuhan. Melalui
rahm.at- Nya, Allah memberikan
karunia kepada alam
semesta untuk menampung dan
merepresentasikan tanda-tanda-Nya. Di sisi lain, melalui rahmat-Nya pula
manusia diberi kemampuan nalar untuk berpikir, memahami, dan menghayati tanda-tanda alam sebagai
tanda-tanda-Nya. .Al-Quran al-Karim merupakan salah satu bentuk relasi antara
nalar Arab abad ketujuh, wahyu terbentang( Al-Quran al- Azhim), dan karunia
rahmat Allah tersebut.
Mulanya, Al-Quran sebagai wahyu
terFirman disampaikan secara
lisan, sesuai dengan
tuntutan konteks situasional waktu diturunkan. Ada tiga situasi yang mendorong
terjadinya peristiwa pewahyuan secara
lisan, yaitu: adanya pertanyaan tentang sebuah
masalah, problematika sosial-budaya yang harus dicarikan solusinya, dan misi kenabian untuk merombak budaya suatu
umat.
Al-Quran sebagai wacana lisan sangat kental diwamai oleh konteks sosial-budaya dan situasi peristiwa
komunikasi kehka ia difirmankan melalui
lisan Nabi Muhammad. Implikasinya, sebagai
wacana lisan, Al-Quran sering kali menggunakan ragam ungkapan dan ekspresi kebahasaan yang mengedepankan
keterbukaan dan pemaknaan yang dinamis,
selama ia tidak menyimpang dari konteks
komunikasi tersebut. Pemaknaan tersebut munculdalam bentuk respon langsung berupa sikap yang dilakukan audiens
kala itu. Fokus pada respon rnerupakan
salah satu ciri komunikasi lisan, ketika terjadi tindak saling merespon antara komunikator (dalam hal
ini nabi) dan komunikan (audiens
Al-Quran).
Keterbukaan dalam pembacaan Al-Quran
diartikan sebagai pemaknaan AI-Quran yang hidup, progresif, mengalir sesuai
dengan konteks situasional bangsa Arab kala itu. Audiens Al-Quran kala itu
masih dapat melihat secara langsung waktu, tempat, dan alasan sebuah ayat turun
sehingga mereka langsung mengambil sikap berdasarkan pemahaman mereka yang
komprehensif tentang peristiwa pewahyuan tersetut. Sahabat tidak mengalami
kesulitan untuk memahami, menghayaLa, dan mengamalkan wacana Al-Quran karena
mereka paham bermr tentang situasi komunikasi ketika Al- Quran difirmankan.
nabi pun tidak menuntut sahabat terlalu jauh untuk
menyikapi Al-Quran sebagai teori-teori filosofis dengan menjejalkan
argumen-argumen teoretis. Bagi nabi ketika itu, Al-Quran adalah pedoman gerak
dan bersikap sehingga begrtu mendengar wacana lisan Al-Quran umat manusia dapat
langsung memfungsionalisasikan Al-Quran dalam realita kehidupan mereka. Implikasinya, nabi banyak menoleransi pelbagai
model pembacaan Al-Quran asalkan masih sejalan dengan tujuan agama yaitu untuk
menyucikan jiwa agar manusia dapat tunduk dan patuh kepada Tuhan.
Problematika lain yang muncul dengan adanya kodifikasi Al- Quran menjadi
mushaf adalah hal yang disebut dengan pemihakan ayat. Artinya
perbedaan corak pemaharnan
dan orientasi keberagamaan umat
menjadi bervariasi akibat pemihakan mereka terhadap beberapa doktrin yang
ditemukan dalam ayat-ayat tertentu, tanpa memberikan porsi yang cukup untuk
menyikapi ayat-ayat lainnya yang memiliki aksentuasi yang berbeda. Perbedaan
Qadariyah dan Jabariyah, misalnya, merupakan contoh yang pas untuk
menggambarkan adanya pemihakan berlebihan terhadap doktrin pada ayat-ayat
tertentu. Dalam tradisi muktazilah, bahkan dikatakan apabila ditemukan
ayat-ayat yang tidak sejalan dengan ayat-ayat utama yang rnereka pdikan
rujukan, maka dilakukan mekanisme pemalingan makna yang disebut dengan takwil.
Sejak dulu para ulama merasa perlu untuk melakukan kerja rekonstruksi
peristiwa pewahyuan agar dapat mencapai pemahaman Al-Quran yang tepat dan
sesuai dengan dinamika zaman. Maka rnuncullah beraneka ragam, corak, dan model
penafsiran sebagai upaya untuk menyingkap kandungan makna Al-Quran agar ia
dapat difungsionaliasikan dalam kehidupan.
Berbagai model pembacaan
Al-Quran dilakukan dengan mengacu
pada tiga aspek utama, yaitu: teks AI-Quran sebagai sebuah
(a) kesatuan tema.
(b) konteks historis yaitu
konteks situasional yang melingkupi peristiwa pewahyuan, peristiwa penafsiran
masa nabi, dan masa-masa generasi
sebelumnya sebagai sumber
inspirasi penafsiran, dan
(c) konteks pembacaan. yaitu situasi kondisi pada saat Al-Quran dibaca
dan ditafsirkan kembali oleh seorang penafsir dengan mengacu pada berbagai
pendekatan dan problematika kehidupan kontemporer.
Melalui model pembacaan seperti
itu maka dimungkinkan terjadinya proses
pengayaan tafsir, sesuai dengan latar geografis, sosial-budaya, dan spirit zaman saat Al-Quran
ditafsirkan. Dengan kata lain: perbedaan latar belakang keilmuan penafsir akan
memperWaruhi oorak pemahaman terhadap Al-Quran, begitu pula perbedaan latar sosial-budaya dan geografi
penafsir akan berbeda hasil tafsirnya.
Seseorang yang dibesarkan di lingkungan yang rasional akan cenderung memperlakukan AI-Quran sebagai
kajian filsafat, sebaliknya, seorang
yang terbiasa bergelut dengan kajian- kayan
Eeologis akan memposisikan AhQuran sebagai teks dokrin dan dogma. Seseorang yang besar dalam kuitur budaya Arab
tentunya akan memiliki pemahaman berbeda
dengan orang lain yang besar dalam
kultur budaya Asia atau Eropa. Pembaca AI.Quran abad ketujuh tentunya juga akan memiliki pemahaman yang
berbeda dengan pembaca Al-Quran abad
kedua puluh satu. Ini semua menunjukkan
bahwa Al-Quran dapat menjadi amber inspirasi bagi semua orang sepanjang masa dan di seluruh dunia. Iniiah
yang disinyalir oleh Ali bin . Abi Thalib dengan pernyataanrya yang terkenal
-AI-Quran baina daffatai almushaf la
yanthiq wa innama yatakallamu bihi ar-rijal (AI-Q uran yang terdapat dalam
mushaf ddak berbicara, yang membuatnya berbicara adalah para pembacanya).
Terdapat dua hal yang secara
dominan mempengaruhi dinamika dan struktur social masyarakat yaitu agam
dan budaya lokal. Dalam masyarakat Indonesia, dua hal tersabut memiliki peranan
penting dalam membentuk karakter dan perilaku sosial yang kemudian sering
disebut sebagai 'jati diri" orang Indonesia. Karakter tersebut mewamai
hampir semua aspek sosial masyarakat Indonesia baik secara politik. ekonomi
maupun sosial budaya.
Agama diyakini memiliki nilai-nilai transenden sehingga sering dipahami
sabagai suatu dogma yang kaku. Namun, nilai-nilai budaya relatif dipandang
lebih fleksibel sesuai kesepakatan-kesepakatan komunitas untuk dyadikan sebagai
standar normatif. Karena adanya perbedaan karakter agama dan budaya itulah maka
sering kali nilai- niiai agama
dipertentangkan dengan ndai-nilai
budaya lokal yang sebenamya telah rnempengaruhi perilaku
sosial seseorang.
Waktu masuknya Islam
ke Indonesia (Nusantara)
masih diperdebatkan. Ada yang berpendapat bahwa sejak sebelum
hijrah telah ada orarng Arab yang
tinggal di kepulauan ini. Lalu pada abad
ke-13 munculah untuk pertama kali sebuah komunitas Islam, yang selanjutnya mengalam perkembangan pesat pada
abad ke-15. Pada abad ke17/ ke-l8 bahkan
mayoritas penduduk Jawa dan Sumatera
telah memeluk Islam.
Mulanya Islam masuk ke Indonesia mlalui pedagang dari Gujarat dan
Malabar India. Lalu belakangan masuk pula pedagang dan dai-dai Islam dari
Hadramaut, di samping saudagar-saudagar Islam dari Cina. Islam disebarkan
dengan cara-cara damai dengan aliansi politik dan pembiaran terhadap
budaya-budaya lokal yang sudah ada sebelumnya, selama sejalan dengan
prinsip-prinsip Islam. Unsur-unsur budaya lokal non-lslam (Arab) bahkan melekat
dalam karakter, pemikiran, dan praktik keagamaan umat Islam Indonesia. Hal itu
mengingat Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam sufistik yang memang
memiliki karakteristik terbuka, damai, dan ramah terhadap perbedaan.
Model akulturasi budaya lokal dengan Islam ini sering dianggap sebagai
penyebab munculnya karakter Islam abangan di kalangan masyarakat Jawa. Sebagian
orang bahkan menilai bahwa para Wali Songo sebagai ikon dai-dai awal Islam di
Indonesia dianggap belum berhasil sepenuhnya untuk mengislamkan Jawa. Beberapa
bukti disodorkan untuk memperkuat tesis lersebut, di antaranya paham sinkretisme
yang tampak masih dominan di kalangan masyarakat Jawa. Walaupun bagi pihak yang
mendukung metode dakwah Wali Songo di atas. praktik-praktik yang sering dituduh
sebagai sinkretisme tersebut bukan sepenuhnya amalan yang bertentangan dengan
islam dan dapat dijelaskan melalui perspektif mistisisme Islam.
Sejalan dengan itu, muncul pertanyaan, bagaimana seharusnya kita mampu
memosisikan diri terkait dengan hubungan agama dan budaya lokal?
Handaknya kita memosisikan
keduanya secara proporsional,
jangan sampai kita hanya mengakui nilai-nilai agama sebagai satu-satunya konsep
yang mengarahkan perilaku tanpa peduli
pada nilai-nilai budaya lingkungan sekitar. Sebaliknya, jangan pula kita hanya
berpakem pada budaya dan tradisi tanpa pertimbangan- pertimbangan yang
bersumber dari agama. Tanyakan pada teman Anda pandangan mereka tentang
proporsionalitas hubungan antara agama dan budaya lokal di atas
Adanya akulturasi timbal-balik antara Islam dan budaya lokal (local genius) dalam hukum Islam secara
metodologis harus diakui eksistensinya.
Dalarn kaidah ushol fiqh kita tamukan misalnya kaidah, al-addah muhkamah adat itu bisa dijadikan
hukum). atau kaidah "al- addah syari'atun muhkamah' (adat adalah syariat
yang dapat dijadikan hukum). Kaidah ini
memberikan justifikasi yuridis bahwa kebiasaan
suatu masyarakat bisa dijadikan dasar penetapan hukum ataupun sumber acuan untuk bwsikap. Hanya saja tidak
semua adat tradisi bisa dijadikan pedoman hukum karena tidak
semua unsur budaya pasti sesuai dengan
ajaran Islam. Unsur budaya lokal yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam
akan diganti atau
disesuaikan dengan semangat tauhid.
Rasul telah mencontohkan cara melakukan akulturasi antara ajaran lslam
dan tradisi bangsa Arab pada abad ke-7. Ada tiga mekanisme yang dikkukan beliau
untuk menyikapi tradisi yang telah berkembang kala itu. Pertama, menerima dan
melestarikan tradisi yang dianggap baik: seperti tradisi musyawarah,
kumpul-kumpul pada hari Jumat, dan khitan. Kedua, menerima dan memodifikasi tradisi
yang secara substansi sudah
baik, teLapi dalam
beberapa aspek implemantasinya
bertentangan dengan semangat tauhid, misalnya ritus haji dan umroh, kurban, dan
poligami. Ketiga menolak tradisi yang dianggap melanggengkan nilai, moralitas,
dan karakter jahiliah, dan menggantikannya dengan tradisi baru yang
mengembarkan dan memperkuat nilai, moralitas, dan karakter islami, seperti
tradisi berjudi, berhala. minum-minurnan keras, dan kawin korntrak.
Berbicara tentang karakteristik muslim Indonesia,
artinya berbicara tentang relasi antara budaya Indonesia dan ajaran
Islam. Juga perlu kita ketahui bahwa antara agama dan kebudayaan tidak bisa
dipisahkan karena agama tidak akan memanifestasi tanpa media budaya, dan budaya
tidak akan bemlnilai luhur tanpa agama. Semula lslam memanikstasi dalam budaya Arab,
lalu seiring dengan penyebaran Islam, ia pun termanifestasi dalam
budaya-budaya lainnya.
Pada abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, keterlibatan
Indonesia dengan dunia Islam lainnya meningkat secara signifikan. Jumlah orang
yang berhaji ke Mekah meningkat, jumlah sarjana Indonesia yang pergi ke Timur
Tengah untuk belajar agama juga meningkal secara signifikan. Pada periode itu
berkembang pemikiran revivalisme Islam
dengan semangat mengembalikan kemurnian Islam
untuk mengembalikan kejayaan
umat Islam. Beberapa pelajar
Islam Indonesia yang belajar di Timur-Tengah mengadopsi gagasan revivalisme ini
lalu membuat serangan kuat terhadap pemikran keagamaan di Indonesia. Model keberagamaan
Islam Indonesia yarig "sinkretis" mendapat kecaman pedas dari
kelompok ini. Menurut mereka, praktik
keagamaan yang sinkretis membuat umat Islam kehilangan identitas keislaman yang
murni dan terjerumus pada campur aduk antara Islam dan paganisme atau
animisme-dinamisme. Manifestasi ekstrem dari kelompok ini bahkan menolak setiap
bentuk persinggungan ajaran Islam dengan unsur unsur budaya yang tidak berasal
dari lslam itu sendiri. .
Mereka juga menolak adanya pengaruh Hindu-Buddha, Kristen- Katolik,
bahkan pengaruh budaya lokal yang sudah mapan di tengah masyarakat. Semua
ekspresi keberagamaan yang merupakan perpaduan antara Islam dan budaya-budaya
lain dianggap sudah tidak mumi dan berbau bidah bahkan berbau syirik. Namun,
ironisnya kelompok ini terjebak pada simplifikasi teologis karena menganggap
bahwa budaya Islam adalah budaya Arab.
Revivalisme dengan gerakan purifikasinya kerap kali menjadi biang
munculnya radikalisme. Radikalisme agama telah menjadi kekhawatiran bangsa
karena praktik keberagamaan
tersebut merapuhkan kebhinekaan dan kedamaian. Gerakan purifikasi ini
mengingkari unsur lokalitas yang turut membentuk Islam Indonesia. Oleh karena
itu, keberagamaan ini menafikan pluralisme sedemikian rupa sehingga cenderung
intoleransi, eksklusifisme, anti-keragaman (multikulturalisme) dan pada titik
krttis bisa melahirkan teronsme.
Dengan demikian, ditengah adanya dua
corak utarna keberagamaan umat
Islam Indonesia,.yaitu sufistik tradisionalis dan revivalis fundamentalis. Kelompok
pertama sangat akomodatif terhadap perbedaan dan pengaruh luar, bahkan toleran
terhadap praktik-praktik keagamaan yang tidak sejalan dengan rasionalitas dan
norma-norma Islam sendiri. Sebaliknya. klompok kedua lebih rasional dalam
menyikapi tradisi kagamaan, namun cenderung eksklusif dan agresif terhadap
praktik-praktik yang dianggap tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran Islam.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Islam dapat diaksentuasikan dengan pelbagai cara sesuai
dengan konteksnya. Aksentuasi fslam yang
beragam tersebut dimungkinkan terjadi. SaIah
satu penyebabnya karena adanya
akulturasi Islam dengan budaya Iokal.
Akulturasi Islam dengan budaya Iokal tertantu menunjukkan adanya upaya
pribumisasi Islam. Pribumisasi Islam menyaran pada transformasi nitai-nilai
Isfam universai daIam
wadah budaya, geografis, dan ruang
waktu tertentu. Melalui pribumisasL Islam diharapkan dapat hadir dafam dinamika
kehidupan kekinmn danmenjawab berbagai problematika sosial-budaya yang
berkembang dalam sebuah ruang, waktu, dan geografis tertentu. .
1. Menggali Sumber Historis
Istilah pnbumisassfam diperkenalkam oleh Gus
Dur (KH Abdurrahman Wahid) sebagai alematif dalam upaya pencagahan praktik
radikasme agama. Penghargaan Gus Dur terhadap metamorfosis islam Nusantara yang
menempatkan lslam secara kontekstual sebagai bagian dari proses budaya. Kalau
boleh disadari meskipun sedikit teidlambat, tempo itu dapat ditempatkan sebagai
cara pandang futuristik Gus Dur perihal Islam Indonesia ke depan
agar tidak terperangkap
dalam radikalisme _ dan
terorisme. Dua hal yang mencerabut Islam dari akar Nasantara. .
Pribumisasi lsiam menampik bahwa
prakik keisarnan "tidak selaIu identik" dengan pengalaman Arab
(Arabisme). Ia adaptif dengan Iokalitas. Pribumisasi
merupakar semangat lanutan dari
perjuangan kakek Gus Dur, KH Hasym Asy'ari. Kelahiran-Nahdhatul Ulama (NU)
merupakan kristalisasi sernangat pribumisasi islam dilndonesia. Organisasi ini
berdiri untuk membela praktik-praktik, keberagamaan kaum lstam tradisionalis dari
kritikan dan serangan agresif paham puritanisme yang dipengaruhi gerakan Wahabi
di Saudi Arabia-.-NU dengan pendekatan sufistiknya mau menerima dan mengakomodasi praktik
keberagamaamnya. Berbeda dengan
organisasi Muhammadyah dengan teologi Salafinya justru menganggap praktik
keeragamaan yang memadukan Islam dengan budaya lokal adalah praktik TBC
(takhayul, bidah, dan churafat/ khurafat)
Apabila kita tengok
sejarah perkembangan Islam
di Indonesia. dakwah yang dilakukan oleh para dai yang membawa Islam ke
indonesia selalu mempertimbangkan kearifan Iokal (local wisdom) yang menjadi
realitas kebudayaan dalam masyarakat Indonesia. Keberagaman
suku, budaya, dan
adat-istiadat mendorong keanekaragaman ekspresi kaislaman di
Indonesia.
Dakwah Wali Songo di Pulau Jawa merupakan contoh kongkret dakwah yang
sengaja melakukan inkulturisasi Islam. Para ,wali mempergunakan
instrumen-instrumen kebudayaan yang ada untuk memasukkan pesan-pesan Islam_
Misalnya, tradisi selamatan tiga hari, tujuh hari, seratus hari, pada masa
dahulu di masyarakat Jawa dilaksanakan jika anggota keluarga meninggal dunia.
Oleh para wali, momen dan forum kumpul-kumpul tersebut dibiarkan, tetapi
dimodifikasi dengan membaca Yasin, Tahlil Tasbih, Tahmid, dan Selawat, dengan
diselingi pesan-pesan keagamaan. Pagelaran wayang, yang merupakan media hiburan
dan edukasi masyarakat Hindu-Jawa, dimodifikasi sedemikian rupa.
Pengajaran Islam seperti. ini
menambah eksotisme kemanusiaan
dan mampu mereduksi (menghindari) konstruksi jihad sebagai eskalasi
psikologis-mental perang. Islam mengedepankan kehalusan budi dalam membawa
pesan-pesan doktrin dan tetap menghidupkan ekspresi lokalitas. Pribumisasi Islam di antaranya
mengambil bentuk seni vokal (tembang) yang dipergunakan untuk menyampaian
pesarn pesan moral Islam.
Pribumisasi Islam adalah psikologi indigenos yang mengembangkan
spiritualitas keberagamaan berangkat dari akar kearifan lokal. Khazanah
kearifan lokal itu ditafsirkan membentuk variarsi keberagamaan yang dapat
dimaknai ke dalam bebagai
2. Menggali Sumber
Sosiologis
Indonesia merupakan negara dengan
jumlah penduduk muslim terbesar di
dunia. Feynomena ini
tentu tidak bisa dilepaskan dari jasa para dai muslim
sepanjang sejarah masuknya Islam di Indonesia. Mereka berasal dari Arab,
Persia, India, bahkan dari Cina. Kedatangan mereka ke Indonesia tadak saja
untuk memperkenalkan Islam, tetapi juga dengan membawa seperangkat keilmuan
Islam yang sudah mengalami proses pengembangan di tanah asalnya, Timur
Tengah.
Sebelum Islam datang,
penduduk Indonesia (baca: Nusantara) telah menganut agama, baik
yang masih primitif seperti animisme-dinamisme maupun yang sudah berbentuk
agama formal seperti Hindu atau Buddha. Namun demekian, berdasarkan catatan
sejarah yang ada, kedatangan isiam tidak disertai dengan konflik
sosial-keagamaan yang cukup berarti. Keberhasilan islamisasi generasi awal
setidaknya disebabkan oleh dua faktor; yaitu faktor strategi dakwah dan faktor
daya tarik ajaran Islam itu sendiri.
3. Menggali Sumber Teolgis dan
Filosofis
Secara
filosofis, pribumisasi islam
didasari oleh paradigma sufistik
tentang subtansi keberagamaan. Dalam
paradigma sufistik, agama memiliki dua wajah yaitu aspek esoteris (aspek dalam) dan aspek eksoterik (aspek
luar)_ Dalam tataran esoteris, semua
agama adalah sama karena ia berasal dari Tuhan
Yang tunggal. Dalam pandangan sufistik, bahkan dikatakan semua yang maujud di alam ini pada hakikatnya
berasal dari Wujud Yang satu (Tuhan Yang
Maha Esa). Alam ciptaan dengan
pluraritas manifestasinya pada hakikatnya diikat oleh sebuah keberaran - universal yang
berasal dari Sang. Penncipta:
Secara teologis, tauhid bukan sekedar pengakuan atau persaksian bahwa
tiada tuhan selain Allah, tapi pemaknaan terhadap tauhid
melampaui dari sekedar
pengakuan atas eksistensinya yang
tunggal. Jika kita tarik pemaknaan tauhid dalam ranah reaktas ciptaan (makhluk)
maka tauhid berarti pengakuan akan pluralitas atas senlai Dia (makhluk-Nya).
Hanya Dia yang tunggal, dan seain Dia adaiah plural. AI-Quran juga mengemukakan, bahwa
Allah menakdirkan pluralitas sebagai karakterstik makhluk ciptaan-Nya. Tuhan
tidak menakdirkar pluraktas dalam
ciptaan untuk mendorong
ketidakharmonisan dan perang. Pliralitas sekaligus menjadi bukti relativitas
makhluk. Karnana sifat telativitanya tersebut, makhluk Allah tidak mungkin
menyamai kemutlakan Sang Pencipta.
Bangsa Indonesia sangat memerlukan kerja kolaboratif dan koordinatif
dari berbagai komponen untuk menggalang semua potensi bangsa agar terjadi sebuah
kerjasama yang efektif dan produktif bagi pembumian lslam yang penuh rahmat.
Namun, upaya-upaya seperti itu sering kali terhambat oleh adanya
potensi-potensi konfllk yang sangat banyak di negeri ini (agama, etnis, strata
sosial, dan sebagainya). Salah satu potensi konflik yang mungkin dapat
menghalangi proses pembangunan dan modernisasi di Indonesia adalah pemahaman
agama. :-
Sering
kali ajaran agama, yang bernilai universal dan tidak memihak, berubah menjadi
sebuah pemahaman agama yang bersifat sektarian dan lokal. Sering kali pa Tuhan
yang Mahaluhur dan Mahamulia diseret oleh subjektvitas manusia untuk
membenarkan sikap sektarian tersebut. Teks suci agama pun tidak luput dari
tangan- tangan nakal manusia. Teks sengaja dipahami secara lepas dari konteks
kebahasaan dan sosio-psiko-historisnya agar dapat dijadikan alat untuk
mengafirkan orang lain yang berbeda pemahamannya.
Pada kondisi saat dunia mulai mengarah kepada peradaban global dan
keterbukaan, maka ajaran agama perlu kembali dirujuk untuk ditransformasikan nilai-nilai
Iuhurya sehingga dapat memunculkan sebuah pemahaman agama dan
sikap keberagamaan yang bebas dari fanatisme sektarian, stereotip radikal, dan
spirit saling mengafirkan antara sesama umat seagama, atau antara umat yang berbeda agama Apaba kita kernbali melihat
contoh rasul dengan masyarakat madaninya, maka kita dapati bahwa
potensi-potensi konflik akan tapat dieliminasi dengan mengedepankan persamaan
dalam keragaman. Artinya, Islam mengajarkan bahwa perbedaan itu adalah fitrah (given) dari Tuhan tetapi dalam
menjalani hidup ini hendaknya kita tidak mempertajam perbedaan tersebut.
Sebaliknya, justru kita harus mencari unsur-unsur persamaan di antara
kita. Sebagai ilustrasi, bisa saja kita berbeda suku bangsa, adat, dan bahasa,
tetapi kita harus mengedapankan kesadaran bahwa ada satu persamaan yang
mengikat kita semua, yaitu kesadaran bahwa kita adalah bangsa Indonesia.
PENUTUP
KESIMPULAN
Kesadaran Islam nusantara yang rahmatlill'alamin perlu dibumikan kembali di
Indonesia seiring dengan maraknya berbagai aliran dan gerakan baru yang dapat
memcah belah NKRI.
SARAN
Diharapakan bagi semua pihak untuk dapat menjalankan gagasan pendirian
lembaga islam nusantara terutama bagi lembaga pendidikan Islam, tokoh
masyarakat, dan pejabat pemerintahan untuk suksesi program.
0 Response to "Bagaimana Membumikan Islam di Indonesia"
Post a Comment