Kebijakan Pemberantasan Terorisme

Pemberantasan terorisme

A. Pengertian terorisme

Istilah teroris “terroris” (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin “terrere” yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata ‘teror’ juga bisa menimbulkan kengerian. Dalam Black Laws Dictionary seperti yang dikutip oleh Muladi Dikatakan bahwa tindak pidana terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana, dan jelas dimaksudkan untuk mengintimidasi penduduk sipil; mempengaruhi kebijakan pemerintah; mempengaruhi penyelenggaraan Negara dengan cara penculikan dan pembunuhan.

Unsur-unsur terorisme dapat kita temukan dalam dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai berikut: perbuatan melawan hukum; dilakukan secara sistematis; dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa yang dilakukan; dengan menggunakan kekerasan atau ancamn kekerasan; menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban bersifat massal; dan dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional

Tindak pidana terorisme tersebut di atas terdapat dalam rumusan Pasal 6 Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang unsur-unsurnya adalah:
1. setiap orang;
2. dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat missal;
3. dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain; dan
4. mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.
Pasal ini termasuk dalam delik materil yaitu yang ditekankan pada akibat yang dilarang yaitu hilangnya nyawa, hilangnya harta, atau kerusakan dan kehancuran. Sedangkan yang dimaksud dengan kerusakan atau kehancuran lingkungan hidup adalah tercemarnya atau rusaknya kesatuan semua ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lainnya.

B. Ciri-ciri Terorisme
Ciri-ciri terorisme yang terdapat dalam Pasal 6 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah sebagai berikut: suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.

C. Bentuk-Bentuk Terorisme
Menurut Abdul Wahid, Sunardi, dan Muhammad Imam Sidik ada dua bentuk teorisme. Bentuk yang pertama adalah teror kriminal yang menggunakan cara pemerasan dan intimidasi. Mereka menggunakan kata-kata yang dapat menimbulkan ketakutan atau teror psikis, teror kriminal biasanya hanya untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri sendiri. Bentuk kedua adalah teror politik. Teror politik tidak memilih-milih korban. Teroris politik selalu siap melakukan pembunuhan terhadap orang-orang sipil baik laki-laki maupun perempuan, dewasa atau anak-anak tanpa memepertimbangkan penilaian politik dan moral.
Dalam soal terorisme, merujuk pada norma internasional, patut dicatat negara juga mempunyai kewajiban melindungi hak-hak warga negaranya yang oleh otoritas negara lain dituduh sebagai pelaku kejahatan. Di sisi lain, suatu negara diwajibkan memberikan informasi sesegera mungkin tanpa penundaan-penundaan kepada suatu otoritas di negara lain yang dianggap dapat melindungi hak-hak asasi “si tersangka”. Kewajiban ini juga termasuk memberikan peluang “si tersangka” untuk dikunjungi oleh pejabat atau perwakilan negara yang dianggap mempunyai otoritas dalam hal perlindungan hak-hak “si tersangka”.

D. Kebijakan pemberantasan terorisme
a. Kebijakan Internasional
Terorisme diakui sebagai ancaman terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (threaten to the peace and security of mankind) sesuai dengan Bab VII Piagam PBB, dengan implikasi hukum adanya kewajiban setiap negara untuk menangkap, menuntut dan menghukum atau mengekstradisi pelaku terorisme. PBB melalui Dewan Keamanan telah menempatkan masalah ini dalam status sebagai kejahatan internasional”.

Landasan hukum mengenai penanggulangan terorisme secara umum, terdapat dalam:
1. Pasal 38 ayat (1) Statuta Pengadilan Internasional tentang sikap dan tindakan bagaimana yang dibenarkan bila negara menetapkan tatacara penyelesaian sengketa melalui penggunaan kekerasan bersenjata;
2. Ketentuan tentang Penggunaan Kekerasan Bersenjata tercantum dalam Konvensi Geneva dan The Hague, yaitu dalam suatu sengketa bersenjata melukai dan memusnahkan anggota dan instalasi militer lawan merupakan keharusan yang harus diambil dan dibenarkan secara hukum internasional, sedangkan menjadikan penduduk sipil sebagai sasaran kekerasan bersenjata jelas-jelas dilarang;
3. Konvensi dalam Bidang Terorisme,Pembajakan, Kejahatan Penyelundupan yaitu Resolusi No. 6 Tahun 1984 mengenai hukum pidana internasional, isinya antara lain mendukung kelangsungan peradilan internasional dalam kaitannya dengan berbagai pelanggaran serta persoalan mengenai penanggulanggan dan penerapan hukumnya;
4. Dalam kaitannya dengan terorisme, Resolusi No. 7 Tahun 1984 cukup signifikan mengatur fenomena terorisme, di dalamnya diatur mengenai tindakan terorisme yang menyangkut elemen internasional, yaitu melanggar pemerintah asing/organisasi internasional, melanggar terhadap suatu bangsa, dilakukan oleh orang yang menyeberang batas internasional, di suatu negara di mana ekstradisi dilaksanakan.
5. Kewajiban negara untuk menahan dan menangkap para pembajak didasarkan pada Pasal 13 Konvensi Tokyo 1963 juncto Konvensi Den Haag 1970. Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap negara peserta di wilayah tersangka berada, apabila terdapat cukup petunjuk, wajib menahan si tersangka atau mengambil tindakan lainnya, untuk menjami proses penuntutan atau ekstradisi.
6. cara lain yang biasa dipergunakan oleh masyarakat internasional adalah dengan membuat negara-negara donor dapat memberikan sanksi dengan cara penyetopan bantuan, baik sebagian atau seluruhnya terhadap negara-negara yang tidak mau memperketat jaringan pengawasan penjahat terorganisir. Sanksi ini diberlakukan atas dasar Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB No. 1747, 24 Maret 1974.
7. Di dalam konvensi tentang pencegahan dan penghukuman terhadap terorisme pada tanggal 16 November 1937 dimuat ketentuan mengenai kewajiban-kewajiban negara peserta untuk menetapkan tindakan terorisme sebagai suatu tindakan yang memiliki karakter internasional sehingga tindak terorisme yang dilakukan di negara lain dapat dihukum berdasarkan hukum pidana negara yang berkepentingan.Ditegaskan pula di dalam konvensi ini bahwa diperlukan adanya kerjasama kepolisian antara negaranegara penandatangan konvensi ini.


b. Kebijakan Nasional
Kejadian-kejadian teror yang selama ini terjadi di Indonesia merupakan sinyal bahwa Indonesia telah merupakan salah satu target operasi organisasi terorisme baik internasional maupun domestik
Meningkatkan kewaspadaan secara fisik semata-mata tidaklah cukup untuk menghadapi organisasi terorisme internasional karena secara organisatoris kelompok tersebut sudah memiliki perencanaan dan persiapan yang sangat diperhitungkan baik segi operasional, personil, maupun dukungan infrastruktur dan pendanaan.
Strategi penanggulangan terorisme yang dilakukan oleh Pemerintah diimplementasikan melalui upaya preventif, preemtif, dan represif.
1. Upaya Preventif
Langkah preventif yang diambil oleh pemerintah dalam rangka penanggulangan terhadap tindak pidana terorisme, antaralain :
1) Peningkatan pengamanan dan pengawasan terhadap senjata api;
2) Peningkatan pengamanan sarana publik;
3) Peningkatan pengamanan terhadap fasilitas internasional;
4) Pengawasan terhadap bahan peledak dan bahan-bahan kimia yang dapat dirakit menjadi bom;
5) Pengetatan pengawasan perbatasan dan pintu-pintu keluar-masuk;
6) Pengetatan pemberian dokumen perjalanan (paspor, visa dan sebagainya);
7) Harmonisasi kebijakan visa dengan negara tetangga;
8) Penerbitan pengeluaran kartu tanda penduduk dan administrasi kependudukan;
9) Pengawasan kegiatan masyarakat yang mengarah pada aksi teror;
10) Kampanye anti-terorisme melalui media massa
11) Penyelenggaraan pelatihan pers yang meliput berita tentang aksi terorisme;
2. Upaya Preemtif
Upaya preemtif dapat dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut:
a. Pencerahan ajaran agama oleh tokoh-tokoh kharismatik dan kredibilitas tinggi di bidang keagamaan untuk mengeliminir ekstrimisme dan radikalisasi pemahaman ajaran agama oleh kelompok kelompok fundamentalis garis keras.
b. Penyesuaian kebijakan politik dan pemerintahan
c. Pelibatan partai politik dan organisasi kemasyarakatan atau lembagaswadaya masyarakat yang mempunyai kesamaan atau kemiripan visi dan ideologi dalam dialog dengan kelompok-kelompok radikal.
d. Penetapan secara tegas organisasi teroris dan organisasi terkait sebagai organisasi terlarang dan membubarkannya.
e. Pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku terorisme di Indonesia.

3. Upaya Represif
Langkah represif yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka melakukan penanggulangan terhadap tindak pidana terorisme adalah sebagai berikut:

a. Pembentukan Badan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, serta pembentukan satuan khusus sebagai langkah pemberantasan tindak pidana terorisme.
b. Penyerbuan terhadap tempat persembunyian pelaku terorisme.
c. Penjatuhan sanksi pidana yang tegas terhadap pelaku tindak pidana terorisme yang telah terbukti bersalah berdasarkan bukti-bukti yang ada.

0 Response to "Kebijakan Pemberantasan Terorisme"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel