Kutipan Novel "Ayah" - Andrea Hirata: Merayu Awan


       Ayah - Novel Karya Andrea Hirata ini bercerita tentang kisah yang sederhana, hubungan Ayah dan anak, menuntun kita untuk dapat berbakti kepada orang tua. Selain itu, kesan yang mendalam dari cerita dan karakter tokoh utama Sabari, untuk selalu bersyukur atas apa yang sudah dimiliki dari kehidupan, selalu yakin jika memiliki kemauan dan tak putus asa meski diterpa cobaan. Cerita tentang Cinta?? Ya, dalam novel ini, tokoh Sabari awalnya tak kenal dan tak suka apa itu cinta. Baginya, "Cinta itu adalah kata asing. Cinta adalah racun manis penuh tipu muslihat. Cinta adalah burung merpati dalam topi pesulap. Cinta adalah tempat yang jauh, sangat jauh dan urusan konyol tuk dibahas." Alur cerita menjadi menarik ketika Sabari bertemu dengan gadis cantik Marlena. Hanya saja semakin mengejar; semakin jauh. Perjuangan tuk mengejar cinta sejati, tak pernah goyah. Walau dia tahu semakin mencintai, selama itu dia akan tersakiti. Miris. Tapii... kali ini saya hanya memposting salah satu kutipan dari novel ini, makna ketika kita bisa bijak jalani hidup, bahwa hidup itu sederhana, tak ada yang dapat menghentikanmu karena satu hal saja yang buatmu terpuruk, ketika kamu jatuh, segera bangkit. Mungkin kutipan ini tak seluruhnya dapat mengisahkan novel ini, tapi semoga menginspirasi. Langsung saja!

Merayu Awan

Dok: Ilustrasi 

INSYAFI, ayah sabari, adalah pensiunan guru SD, bidang studi Bahasa Indonesia. Dipilihnya bidang itu lantaran gemar akan puisi. Dia memberi nama anak-anaknya dengan satu kata sifat yang mulia dan menambahi huruf  i  di belakang nama itu, agar terdengar lebih sastrawi.
Anak pertamanya, laki-laki, dinamai Berkahi. Anak kedua, perempuan, dinamai Pasrahi. Setelah lama menunggu, terus berusaha dan berdoa, akhirnya lahir si bungsu, langsung dinamai Sabari.
Si bungsu itu sempat mau dinamai Tobati, tetapi nama itu keburu diambil sepupu ibu Sabari untuk menamai anaknya yang baru lahir di Kampung Kelapa Lutung. Satu hal yang kemudian disyukuri Insyafi karena sudah besar, Tobati itu tak berhenti berurusan dengan polisi.
Jarak yang jauh dari abang sulung dan kakaknya, bungsu pula, membuat Sabari menjadi anak emas. Saban malam ayahnya bercerita untuk menidurkannya. Bukan karena sabari merengek, melainkan memang karena anaknya senang bercerita. Sesekali ayahnya mengucapkan kata yang tak biasa didengar Sabari kecil, tetapi terasa indah. Sabari bertanya apakah yang diucapkan ayahnya itu?

“ Itulah puisi, Boi”
“Apakah puisi itu?”
“Puisi adalah salah satu temuan manusia yang paling indah”

Merona-rona Sabari menatap ayahnya bergaya menatap puisi. Ingin sekali dia pandai membuat puisi seperti ayahnya. Insyafi bahagia dapat membesarkan anaknya dengan puisi dan bahagia dapat menurunkan hobinya kepada anaknya. Suatu ketika Sabari dan ayahnya duduk di beranda.

“Tahukah kau, Boi, langit adalah sebuah keluarga. Lihat awan yang berarak-arak itu, tak terpisahkan dari angin. Coba, bagaimana kau dapat memisahkan awan dari langit?”

Sabari terpesona pada pertanyaan itu.

“Awan dan angin tak terpisahkan karena mereka saudara kandung. Ibu mereka adalah bulan, ayah mereka adalah matahari. Setiap sore angin menerbangkan awan ke barat, matahari memeluk anak-anaknya dan dunia mendapat senja yang megah.”

Sabari terpukau.

“Awan adalah anak perempuan penyedih, gampang menangis. Jika awan menangis,
turunlah hujan. Namun, kalau kau pandai membujuknya, ia takkan menangis”
“Bagaimana cara membujuk awan, Ayah?”
“Nyanyikan puisi untuknya, namanya puisi merayu awan.” Ayahnya bersenandung.

Wahai awan
Kalau bersedih
Jangan menangis
Janganlah turunkan hujan
Karena aku mau pulang
Untukmu awan
Kan kuterbangkan layang-layang

Sejak saat itu, setiap menjelang tidur, tak jemu-jemu Sabari meminta ayahnya bercerita tentang keluarga langit dan melantunkan nyanyian untuk merayu awan. Tak lama kemudian Sabari kecil sudah bisa menyanyikan lagu itu. Awan sisik Januari yang berarak-arak di atas rumah beratap rumbia itu, diam menyimak seorang bocah bernyanyi untuknya.
---------
Insyafi sering sakit. Penyebabnya antara lain usia tua. Dia pernah kena stroke ringan. Setelah itu, dia memakai kursi roda.
Sabari senang mengajak ayahnya jalan-jalan. Dia senang mendorong kursi roda ayahnya keliling kampung, kepinggir padang bahkan sampai pasar, bantaran sungai Lenggang dan dermaga. Ayahnya gembira, daripada sepanjang hari hanya diam di rumah.
Sepanjang jalan Insyafi berkisah ini-itu, sesekali berpuisi. Bagi Sabari, itulah bagian paling istimewa dari ayahnya, yakni bagian puitisnya. Banyak orang yang makin tua makin cerewet, temperamental, makin genit, makin kekanakan. Ayah Sabari, makin puitis.
Insyafi sendiri melihat perubahan yang aneh pada diri Sabari beberapa waktu terakhir itu, yang dia tahu bahwa semuanya bersangkut paut dengan surat untuk Sabari dari Juliet-mu, Lena itu. Sore itu Sabari mendorong kursi roda ayahnya melintasi padang ilalang yang meliuk-liuk ditiup angin. Sabari tersenyum. Ayahnya menatap dan langsung tahu bahwa anaknya sedang dilanda cinta.
Tak ada lagi yang perlu  diceritakan. Sabari telah diajari ayahnya untuk membaca tanda-tanda, sebagai bagian dari istimewanya puisi bahwa apa yang diceritakan mata lebih terang dari apa yang diucapkan mulut. Ayahnya menatap angkasa lalu berkata:

Waktu dikejar
Waktu menunggu
Waktu berlari
Waktu bersembunyi
Biarkan aku mencintaimu
Dan biarkan waktu menguji

Kena singgung secara puitis. Sabari tersipu sekaligus kagum kepada ayahnya yang gampang terinspirasi oleh apa saja, sekejap kemudian mencipta puisi, begitu gampang, seakan ada peternakan puisi dalam mulutnya.
Mereka sampai di pasar, melihat orang naik sepeda motor secara bergajul, tiga orang satu motor, pontang-panting dauber polisi, ayahnya berfilosofi:

“Segala hal dalam hidup ini terjadi tiga kali, Boi. Pertama lahir, kedua hidup, ketiga mati. Pertama lapar, kedua kenyang, ketiga mati. Pertama jahat, kedua baik, ketiga mati. Pertama benci, kedua cinta, ketiga mati. Jangan lupa mati, Boi.”

Anak dan ayah itu menuju dermaga, untuk menyaksikan matahari terbenam nun di muara Sungai Lenggang.



0 Response to "Kutipan Novel "Ayah" - Andrea Hirata: Merayu Awan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel